Jumat, 08 Desember 2017

Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
1)      Latar belakang
Satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya. Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung -Perwira Teritorial bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda. Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta. Setelah tinggal beberapa hari, iapun melaksanakan tugas yang diberikan panglima besar sudirman.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
  1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III
  2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
  3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
  4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
  5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat, dan Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai serangan terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
  1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
  2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
  3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk itu, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Lalu, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan TNI terhadap tentara Belanda. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo.
Pimpinan pemerintahan sipil ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan PMI. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI, mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
2)      Jalannya serangan Umum
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula pasukan TNI mengundurkan diri.
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besang]] – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
3)      Kerugian di kedua belah pihak
a)      6 orang tewas, diantaranya adalah 3 orang anggota polisi
b)      14 orang mendapat luka-luka
c)       namun sekitar bulan maret, tercatat sekitar 200 orang tewas dan luka luka.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier, Dr. Angent, Kolonel van Langen dan Residen Stock telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
a)      300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.
4)      Perkembangan setelah serangan umum 1 maret
Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.
Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.
5)      Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era Orde Baru
a)      Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena dinilai tidak lebih daripada perjuangan lainnya
b)      memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB
c)       Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah dan Pepolit dari Kementerian.
d)      Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di Wiladek.
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1948.
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
  1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
  2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, bahwa Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
  3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949, bahwa operasi tersebut dibawah kendali divisi III/GM III, adalah perintah siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949.
Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.
Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan: "Peliharalah terus hierarchie ketentaraan"
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten).
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar yang menjadi incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain:
"Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo. Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”
Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
"Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten Cokropranolo. Tanggal 3.3.1949 di desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan satu kompi tentara dipimpin Letkol. Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman"
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap Belanda.
Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H. Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki.

Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku Buwono IX.
Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya.
Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota.
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya.
6)      Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era reformasi
a)      Perintah serangan tersebut datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap: ... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal ... ... Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.
b)      Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa: ... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...
c)       Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998): "Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang".
d)      peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang hirarki. Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar.
e)      Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan tersebut berjudul "6 jam di Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore hari. Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran. Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup". Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan:...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
7)      Perkembangan kontroversi serangan umum 1 maret
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak. Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).

Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan menulis kata sambutan. Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat: "dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESEDIHAN YANG KOMPLEKS

Hari ini hari Senin, 14 Februari 2022. Cuaca sedang sangat ekstrim hingga sebagian besar penghuni bumi mengalami flu. Ya, sebagian besar. Mu...